Selasa, 19 Januari 2016
Esai - "Memilih Jalan Sunyi"
" Memilih Jalan Sunyi "
Rindu kami padamu Ya Rasul
Rindu tiada terperi
Berabad jarak darimu Ya Rasul
Serasa dikau di sini
Cinta ikhlasmu pada manusia
Bagai cahaya suwarga
Dapatkah kami membalas cintamu
Secara bersahaja
Bait kalimat di atas adalah penggalan lirik lagu religi berjudul: RINDU RASUL yang sempat populer di bawakan oleh grup vokal Bimbo.
Entah ada daya magis apa, setiap kali mendengar lagu tersebut saya mendadak trenyuh dan tak bersuara. Bahkan airmata ini tumpah dengan sendirinya. Tidak hanya pas mendengarkan saja, pun ketika saya coba melantunkan syair demi syair lagu tersebut, seketika dada ini sesak di ikuti sekujur tubuh merinding dan gigil.
Ya Nabi salam 'alaika, sungguh kami rindu padamu Ya Nabi, rindu yang tiada terperi. Sholawat dan salam kami haturkan selalu kagem baginda Muhammad SAW. Memang benar, antara kanjeng Nabi dan kami terpaut berabad jarak, namun sungguh aura, figur dan cinta kasihmu nyata kami rasakan hingga saat ini.
Muhammad adalah kekasih Allah. Barang siapa mencintai kekasih Allah maka Allah akan balas mencintainya. Nur cahaya Muhammad telah menerangi kegelapan dunia, telah merahmati alam semesta. Sejatinya umat manusia sekarang tinggal enaknya saja. Tinggal mengikuti apa-apa yang telah di ajarkan kanjeng Nabi maka selamat kita. Namun sayang sekali, banyak manusia enggan memilih jalannya Nabi dan mungkin termasuk saya ini. Maafkan kami Ya Rasul, kami sangat mencintaimu namun masih semu, kami juga teramat rindu padamu meski terasa palsu.
****
Alhamdulillah, sudah hampir 10 tahun saya menjadi bagian kecil dari Majelis Masyarakat Maiyah. 5 tahun menjadi jamaah Kenduri Cinta Jakarta dan sekarang rutin ngangsu kawruh lan ilmu di Majelis Mocopat Syafaat Yogya setiap tanggal 17 malam. Saya merasa beruntung luar biasa di giring Allah untuk 'keblasok' di Majelis Maiyah. Memang, pada awal melingkar dan sinau bareng di Forum Maiyah muncul perseteruan sengit dalam benak saya. Di saat hasrat diri mendambakan menjadi orang terkenal, tapi di Maiyah saya di rem untuk menahan diri. Saya nusang jempalik untuk meraih predikat dan gelar agar di segani orang, tapi di Maiyah di ajarkan bahwa semua manusia sama dan sejajar. Ketika saya mati-matian untuk menunjukkan buah karya saya selama ini, dan lagi-lagi di Maiyah saya di wejangi agar memilih jalan sunyi.
Apa-apaan ini, kenapa Maiyah serasa mencekal mimpi dan misiku. Jelas ini bertolak belakang 180° dengan obsesi hidupku selama ini. Cobaan apa lagi ini Tuhan. Kata saya pada awal nyemplung di Forum Maiyah. Dan Allah benar menunjukkan kebesarannya. Pelan-pelan saya di tunjukkan hidayah, sedikit tapi continue saya mampu untuk menyerap-mencerna-memahami apa itu ilmu "menahan diri" dan memilih "jalan sunyi". Saya di ajari langsung, di tatar, di poles, di gembleng habis-habisan oleh pelaku utama jalan sunyi. Tidak lain dialah guru Jamaah Maiyah Nusantara asal Jombang; Emha Ainun Nadjib atau akrab di sapa Cak Nun. Dan saya pribadi lebih suka dan nyaman memanggil beliau Mbah Nun.
Simbah memilih jalan sunyi, menjauh dari mainstream dan panggung hingar-bingar. Simbah menghabiskan waktunya untuk melayani masyarakat se-antero bumi Indonesia. Tanpa lelah, tanpa transaksi dan tanpa ekspos sorot media. Simbah setia pada jalan sunyi untuk ndandani hati-moral dan pemikiran manusia-manusia Indonesia.
Di mata saya, simbah adalah multi-talent. Beliau seorang guru, pemimpin, penasihat sekaligus ayah, simbah dan sahabat bagi semua. Mengajarkan nilai-nilai agama, sosial-budaya, politik dan hampir seluruh lini kehidupan di sampaikan beliau dengan cerdas dan mencerdaskan. Baik melalui tulisan (puisi-esai-kolom-buku), forum diskusi, pementasan dan juga seabrek karya lagu bersama grup Kiai Kanjeng yang di asuhnya. CNKK menjelma menjadi "klinik" berjalan yang senantiasa ngobati larane ati menungso, mengguyub-rukunkan perselisihan, mencairkan ketegangan serta sebagai "bak sampah" atas segala keluhan berbagai permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.
Namun hebatnya Simbah tak pernah mengeluh, ndak gresulo sedikitpun. Beliau tetap melayani dengan cinta asih. Membalas kebencian dengan cinta, menjawab fitnah dengan cinta, bersedekah cinta pada Indonesia padahal bangsa ini masih punya 'hutang' pada Simbah. Bahkan orang-orang yang sempat menyantetnya dan ingin membunuhnya tetap di cintainya. Itulah Emha, sosok tanpa gelar, bukan pejabat, bukan selebriti, Kiai pun bukan, hanya seorang Cak dari Jawa Timur yang penuh cinta dan dedikasi tinggi pada negeri ini.
Tak di pungkiri, jika yang di lakukan Simbah selama ini mirip dengan apa yang di lakukan kanjeng Nabi pada masa dulu. Berdakwah, mengajak umat untuk sama-sama sinau menuju kebaikan (shirattal mustaqim). Mencintai Allah dan Rasul-Nya. Mengajak dengan cinta bukan paksa. Merangkul dengan cinta tanpa dakwa. Sudah amat langka sosok Emha di Republik ini. Seorang yang rela jiwa-raga memberikan apa saja untuk kearifan kampungnya, kemuliaan bangsanya dan keselamatan seluruh rakyat Indonesia.
Saya dan mungkin kita semua rindu pada figur guru dan pemimpin laksana Baginda Nabi. Pemimpin yang baik hati lagi santun. Guru yang mengasuh dengan cinta dan ketulusan. Kalau bisa aku pengin terus nggondheli klambine Nabi. Tapi apa mungkin bisa, Engkau telah di peluk mesra sang Illahi sedangkan kami masih kacau, kotor, berlumur dosa di muka bumi.
Syukur Alhamdulillah. Kini ada satu cara untuk sedikit mengobati haus rinduku pada sang Nabi. Semoga ini tidak berlebihan, lebay, pamer apalagi mengkultuskan. Tidak! Semoga Allah mengampuni kelancanganku. Dapat aku temukan sosok satu level di bawah Nabi/ mungkin wali pada diri Simbah (EAN) yang ku pahami selama ini. Bagaimana tidak, sepanjang hidup terus menebar cinta meski di benci, di hina, di fitnah dan mau di apakan saja beliau terima. Sebab apapun yang beliau kerjakan hanya untuk mengharap cinta-Nya Allah dan Rasul-Nya. Bukan puja-puji manusia, bukan untuk obsesi pribadinya, juga bukan bab urusan dunia semata.
Ya Allah, Engkau tetap Tuhanku.
Ya Muhammad, Engkau tetap Rasulku.
Jika sekarang aku tak bisa mencium mesra Nabi, maka aku bisa menciumi pipi simbah kanan-kiri sebagai pelampias rinduku.
Jika aku belum mampu memeluk harum tubuh Nabi, aku bisa merangkul erat-erat tubuhnya Simbah sebagai wujud roso tresnoku.
Jika aku ingin mengikuti jalan cahaya Nabi, maka aku memilih jalan sunyi yang di tempuh Simbah sekian lama ini. Jalan sunyi sungguh nikmat sekali.
Aku cinta padaMu Ya Allah, cinta padamu Ya Nabi dan juga cinta padamu Simbah.
Semoga Allah, Rasulullah dan Simbah tidak marah kepadaku.
Oleh
@MuhammadonaSetiawan
Langganan:
Postingan (Atom)