Selasa, 29 Desember 2015
Esai - " Catatan Penghujung Tahun "
#Catatan Penghujung Tahun
Orang Indonesia itu gumunan, latah, dan gampang di bikin mabuk: jadi cukup di serbu dengan iming-iming di segala bidang maka mabuklah semuanya. Segala macem partikel yang menggiurkan, gosip yang menarik, link informasi yang bersliweran di media sosial di untal mentah-mentah oleh orang Indonesia, tanpa reserve. Padahal apa saja yang hendak kita untal/ makan baiknya kita olah dulu-di pamah sampai lembut baru kita telan masuk perut. Sebab kalau kita nguntal yang masih gelondongan, akibatnya kita akan kloloten/ kesedak lalu muntah berserakan.
Ibarat kata kalau kita mau makan nasi, maka kita harus mengidentifikasi proses terjadinya nasi. Mempelajari secara urut dan continue, mulai dari tahap nandur padi di sawah, setelah padi menua lantas di panen, di erek yang kemudian menjadi gabah. Lanjut gabah di jemur di bawah sengatan matahari, untuk kemudian di selepke dan jadilah beras. Beras belumlah enak untuk di makan, maka beras mesti di ayak, di bersihkan dari kerikil dan kotoran yang lain atau di tapeni kata orang Jawa. Sesudah itu beras di bersihkan dengan air barulah di liwet atau di nanak dan jadilah nasi yang setiap hari kita konsumsi. Jangan protes kalau kita belum tahu proses apalagi progres.
Dan untuk mengolah makanan, ilmu, opini, informasi dan apapun itu manusia di bekali Tuhan akal sehat. Dan namanya akal sudah pasti sehat, sebab tidak ada akal sakit. Hanya gigi dan hati yang mungkin berpotensi untuk sakit, yang mana kita sering menyebut sakit gigi juga sakit hati. Jadi akal manusia sudah pasti sehat jangan lagi di tawar. Ketika akal masih gamang dalam mencermati suatu hal, Tuhan lantas memberi manusia hati-rasa-etika untuk membantu mempertimbangkan segala sesuatu yang hendak masuk pada diri. Akal dan hati harus saling bahu-membahu setiap menangkap berbagai jenis informasi dan mesti 'sesuai' dosis, konteks, batas, takaran, koridor wilayah, ruang dan waktu. Apabila kurang itu tidak baik, overdosis pun membahayakan. Pilihlah yang dinamis. Tapi begitulah, manusia Indonesia memang malas berfikir, pokoknya ambil dan telan.
2015 akan segera kita tinggalkan, semoga saya-anda- pak RT- Bayan- Lurah- Camat- Bupati- Menteri- Jokowi dan seluruh manusia Indonesia turut meninggalkan sikap gumunan, latah dan hobi nguntal mentah-mentah.
@MuhammadonaSetiawan
Selasa, 22 Desember 2015
Esai - "Prihatin"
" Prihatin "
Kenapa orang mencari uang sebanyak-banyaknya,
menumpuk harta benda ndak habis-habis, dan tak henti-hentinya mengejar kekuasaan. Karena mereka pikir hanya itu yang bisa membuat mereka hidup bahagia.
Padahal sederhana saja. Semakin kita lapar maka semakin nikmat kita makan, sebab lauk yang paling nikmat itu bernama "lapar". Nikmat dan lezat itu ketika sudah lama tidak terjadi, suatu hari terjadi dan itu membuat kita seneng ndak karu-karuan.
Sama halnya saat kita berpuasa. Berjam-jam kerongkongan kita kering, perut kosong, badan lemes. Dan momentum nikmat itu berlangsung ketika seteguk teh hangat manis membasahi kerongkongan saat berbuka. Cukup seteguk saja, nikmatnya luar biasa. Tanpa harus di jejali sepotong pizza, anggur, semangka atau sekotak kue nastar macam rasa.
Tetaplah prihatin dalam keberadaan.
Dan tetaplah 'berpuasa' dalam keberlimpahan.
@MuhammadonaSetiawan
Selasa, 01 Desember 2015
Sajak - "Sajak Rahasia"
" Sajak Rahasia "
Dia perkasa namun lembut
Ia pinjamkan keperkasaan pada Adam
Ia titipkan kelembutan ke sang hawa
Cahaya tak tampak
Namun yang tertimpanya kentara.
Suara tak terdengar
Hanya dalam sepi-sunyi suara di temukan
Duhai kelembutan,
Kelembutan senantiasa tersembunyi.
Cahaya tak tampak
Suara tak terdengar
Begitu pula keindahan.
Sebuah prasasti sebagai pengantar keindahan.
Sebait puisi adalah tempat rahasia keindahan.
Sealun lagu menjadi satu cara mengungkap keindahan.
Demikian sejatinya Ia,
Kelembutan, keindahan dan perempuan.
Senantiasa menyembunyikan diri dalam rahasia
Sebab demikian itu syarat mutlak keagungannya
@MuhammadonaSetiawan
Langganan:
Postingan (Atom)