Kamis, 04 Agustus 2016

"Sajak Muhammad "

" SAJAK MUHAMMAD "


Sekiranya aku menjadi Muhammad
Takkan sudi kembali ke Bumi, setelah sampai didekat 'Arasyi

Seandainya aku jadi Muhammad
Enggan rasanya turun ke dunia, setelah menembus Sidratul Muntaha

Semisalnya aku Muhammad
Aku akan berlama-lama, bercinta-bermesra-- bercengkrama dengan Yang Esa

Soal kembali ke bumi nanti saja
Turun ke dunia ditunda sementara

Tetapi, untungnya aku bukan Muhammad
Muhammad bukan aku
Dan tidak mungkin aku jadi Muhammad

Muhammad adalah kekasih
Anugerah yang terpilih
Muhammad adalah nur-cahaya
Rahmatan bagi semesta

Jiwa Muhammad gundah akan kebebalan umat
Hatinya gulana atas kekafiran kaum-nya

Allah lantas mengirim burung gagah perkasa
Buraq menjelma armada, menghantar Muhammad menemu Tuhan-Nya
Yang Maha Kasih hendak menghibur kekasihnya
Yang Maha mulia ingin memuliakan utusan-Nya

Muhammad di Isra'kan
Perjalanan horisontal, menapak tilasi perjuangan para Nabi
Muhammad lalu di Mi'raj-kan
Pendakian vertikal, meninggi- menyowani singgasana Illahi


Wahai kekasih
Jangan bersedih hati, AKU memberkahimu, kata Allah.
Wahai Sang Nabi
Jangan bermuram durja, AKU membersamaimu kapan-dimana saja

Muhammad-pun kembali ke bumi berseri-seri
Baginda turun kedunia penuh suka-cita
Islam disampaikan dengan cinta-tanpa paksa
Iman disemaikan bertahap-perlahan menurut kemampuan

Sekali lagi bahkan seribu kali lagi
Muhammad adalah rahmat
Muhammad ialah Mukjizat
Muhammad sang juru syafaat

Bersholawat-lah kagem kanjeng Nabi
Bersyahadat-lah di hadapan Sang Illahi


Karya
@Muhammadona_ Setiawan


Selasa, 26 Juli 2016

Esai - " ASING DAN TERASING "

"  ASING DAN TERASING "


Pada 27 Mei 2016 lalu,  ada gelaran Akbar yang berlangsung di Desa Menturo, Sumobito, kab. Jombang, Jawa Timur. Pada hari itu, salah seorang tokoh besar Republik ini 'merayakan' usia yang ke-63 tahun. Tokoh tersebut adalah simbah dan guru kita semua yaitu Emha Ainun Nadjib atau akrab disapa Cak Nun atau lebih tepatnya sekarang dipanggil Mbah Nun.

Atas izin Allah dan cintanya Rasulullah, saya dan beberapa teman Jamaah Maiyah asal Gemolong Sragen turut menghadiri Maiyahan yang bertajuk IHTIFAL MAIYAH di Jombang kala itu. Ada 2 alasan yang mendorong saya untuk ikut serta datang ke Jombang. Pertama : usia mbah Nun telah menginjak 63 tahun. Angka 63 terasa spesial sebab usia tersebut persis dengan jatah usia Kanjeng Nabi ketika dipanggil Allah SWT. Oleh karena-nya, saya mengharuskan diri saya untuk menyempatkan hadir ke Jombang guna memberi selamat dan doa secara langsung teruntuk Mbah Nun tercinta. Kedua: seumur hidup saya pun belum pernah menyambangi tanah kelahiran Gus Dur tersebut. Sehingga ada keinginan yang sangat besar untuk bisa menginjakkan kaki disana (baca: Jombang).

Saya dan ke-4 teman saya berangkat menuju Jombang dengan mengendarai mobil pribadi. Berangkat pukul 2 siang dan sekitar pukul 8 malam telah sampai di kawasan kab.Jombang. Selama perjalanan dari Gemolong (Sragen) ke Jombang, kondisi cuaca berubah-ubah. Ketika mobil kami sampai di Mantingan Ngawi, hujan turun lebat. Dan memasuki Ngawi kota mendadak air hujan sirna. Mobil terus melaju dan tak terasa kami sudah tiba di Madiun. Disepanjang jalan kota Madiun cuaca cukup cerah, tak ada tetes hujan yang kami jumpai. Kondisi tersebut bertahan hingga kami masuk kawasan kota Nganjuk.

Jarum jam menunjukkan pukul 18.30 WIB. Diperbatasan Nganjuk-Jombang, hujan kembali mengguyur. Kami memutuskan untuk rehat sejenak dan menunaikan sholat maghrib. Usai sholat kami lantas melanjutkan perjalanan menuju Lokasi Ihtifal Maiyah. Sebelum meluncur ke Menturo, mobil kami bergegas ke Kompleks Ponpes Tebu Ireng. Disana ada satu teman JM dari Gemolong juga yang sedang mengantar anak-nya mendaftar di Ponpes petilasan Gus Dur tersebut. Ia minta dijemput karena pengen ndherek juga ke Menturo.

Sampai di Tebu Ireng hujan mereda. Udara segar- suasana nyaman sangat kami rasakan ketika mobil kami parkir didepan Ponpes. Lantunan ayat suci terdengar merdu dari dalam ponpes seketika menentramkan kalbu. Ditempat inilah para ulama besar Negeri ini dilahirkan dan ditempa. Mbah Hasyim- Mbah Wakhid-- Mbah GusDur adalah beberapa putra terbaik Daerah. Doa kebaikan pantas kita kirimkan kepada para kekasih Allah tersebut. Al Fatihah.

Tak berselang lama, kami pun bergegas merapat ke Menturo. Setengah jam perjalanan dari Tebu Ireng ke Menturo, cuaca berubah cerah dan bergairah. Hujan telah usai. Dari 6 orang yang ada dimobil hanya ada satu orang yang pernah berkunjung ke Menturo. Itupun sudah lama sekali. Ahsan salah satu teman saya itu terakhir kali ke Padhang mBulan Menturo pada tahun 2000 lalu, saat Ia masih menempuh studi (kuliah) di UNDAR. Jalan-suasana dan kondisi lingkungan Jombang saat ini sudah berubah total, katanya.

Setiap mobil kami nyasar, maka kami-pun bertanya kepada orang dijalan. Mungkin, sudah lebih dari 6 kali kami mananyakan dimana letak Desa Menturo. GPS juga kami gunakan sebagai penunjuk jalan. Dan ketika kami melintasi rel Kereta Api, terlihat disebelah ujung jalan Kantor Polres Sumobito. Alhamdulillah, itu artinya kami sebentar lagi akan sampai dilokasi. Mobil kami menderu menelusuri sepanjang jalan ditepi rel Kereta Api. Radar GPS terus menari-menari seolah membimbing arah perjalanan kami.

Kami telah memasuki jalan-jalan kampung. Berderet rumah-rumah warga. Hamparan sawah tersaji. Perkebunan tebu dikanan-kiri. Kami lewati jembatan, jalan yang licin, terjal dan berliku pasca diguyur hujan. Ya Allah, dalam hati aku bergumam: "Dimana kampung-nya Mbah Nun, kok nggone mblusuk ngene..". Kami sempet bingung lagi untuk menuju ke Desa Menturo. Ketika mobil kami mandeg, tiba-tiba ada pengendara motor yang menghampiri mobil kami. "Arek marang Cak Nun mas.., monggo bareng saya saja". Puji Tuhan, ketika lelah sudah melanda, perut meronta-ronta (baca: kelaparan) pertolongan Allah-pun tiba.

Selang 20 menit, mobil kami sampai juga dibibir Desa Menturo. Alhamdulillah. Lantunan ayat suci Alqur'an dari pengeras suara seakan menyambut kedatangan kami dan ratusan Jamaah Maiyah yang baru sampai dilokasi. AllahuAkbar, akhirnya sampai juga kami ditempat tanah kelahiran Mbah Nun. Tanah lapang berubah menjadi arena parkir mobil dari berbagai penjuru Nusantara. Halaman sekolah Global juga disulap sebagai lahan parkir roda dua. Saya dan teman-teman segera merapat ke depan lokasi Maiyah. Lautan manusia berjubel. Laki-laki, perempuan-bapak-ibu-mbah--anak-anak berkumpul dalam satu lingkaran pasedhuluran Maiyah. Saya pun ikut berbaur ditengah-tengah mereka. Perasaan haru-gembira bercampur. Para JM menikmati setiap detik kemesraan, menyaksikan para 'bintang tamu' menyajikan pertunjukan di atas panggung. Ada Cak Kartolo cs yang ndagel ala Jawa timuran. Karena saya ndak dong bahasa-nya, maka saya cuma nyengir-nyengir sendiri. Kemudian  ada persembahan dari Komunitas 5 Gunung pimpinan pak Tanto Mendut. Penampilan mereka terkesan mistis karena banyak sekali uborampe yang digunakan. Seperti : dupa-menyan-kembang-tebu dan tetek bengek-nya. Dalam rangka mangayubagyo Ulang Tahun Mbah Nun, pak Tanto memberi hadiah batu akik kepada mbah Nun serta mempersembahkan tarian-barongsai dan wayang kulit. Semua JM nampak terhibur dengan penampilan Komunitas 5 Gunung.

Usai pertunjukan Wayang kulit, mas Sabrang cs giliran naik ke panggung. Dengan formasi lengkap, Letto membawakan beberapa nomor andalan dari album mereka. Nomor Menyambut Janji menjadi lagu pembuka. Dijeda lagu mas Sabrang juga mengajak JM semua untuk mendoakan mbah Nun semoga beliau tetep sehat dan setia melayani kita semua, jamaah serentak meng-Amin-kannya. Hampir semua nomor Letto yang dibawakan, jamaah hafal, ikut larut mendendangkannya.

Menginjak pukul 01.30 dinihari, barulah Mbah Nun naik ke panggung untuk menyapa dan menyampaikan ungkapan terimakasih kepada pengisi Acara dan seluruh JM Nusantara yang telah sudi hadir maupun yang tak bisa hadir namun turut memberi ucapan selamat dan doa-doa kebaikan. Kebaikan anda semua dicatat dan diganjar berlipat oleh Yang Maha Kasih Allah SWT, ucap simbah mesra. Dan tepat pukul 03.00 WIB gelaran Ihtifal Maiyah ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh Cak Fuad.

Alhamdulillah. Serangkaian acara IHTIFAL MAIYAH - 27 MEI 2016 di Desa Menturo Sumobito Jombang telah usai. Begitu banyak pelajaran dan pengalaman hidup yang saya dapatkan, pun demikian JM keseluruhan. Bagi saya pribadi, NILAI yang paling berharga yang bisa saya serap dan tangkap justru bukan pada konten acara Ihtifal Maiyah-nya namun yang lebih mendalam/ nancep ati adalah perihal "Skenario Tuhan". Batin saya bergumam pelan : Ya Allah Ya Rabb'ku,  tidak ada satu-pun yang menyangka, jikalau di Dusun yang plosok-ndeso--terpencil dan terASING dari keramaian hingar bingar akan lahir seorang Figur besar yang selama hidupnya setia bekerja untuk melayani-mencintai- mengabdi dan memberi seluruhnya untuk anak-cucu bangsa ini.
Jazaakallah khairan katsiran. Matursembah nuwun. Salam takzim dan cinta teruntuk Mbah Emha Ainun Nadjib.


Oleh cucumu

@Muhammadona_ Setiawan
#220716

Selasa, 19 Januari 2016

Esai - "Memilih Jalan Sunyi"


" Memilih Jalan Sunyi "



Rindu kami padamu Ya Rasul
Rindu tiada terperi
Berabad jarak darimu Ya Rasul
Serasa dikau di sini

Cinta ikhlasmu pada manusia
Bagai cahaya suwarga
Dapatkah kami membalas cintamu
Secara bersahaja


Bait kalimat di atas adalah penggalan lirik lagu religi berjudul: RINDU RASUL yang sempat populer di bawakan oleh grup vokal Bimbo.

Entah ada daya magis apa, setiap kali mendengar lagu tersebut saya mendadak trenyuh dan tak bersuara. Bahkan airmata ini tumpah dengan sendirinya. Tidak hanya pas mendengarkan saja, pun ketika saya coba melantunkan syair demi syair lagu tersebut, seketika dada ini sesak di ikuti sekujur tubuh merinding dan gigil.

Ya Nabi salam 'alaika, sungguh kami rindu padamu Ya Nabi, rindu yang tiada terperi. Sholawat dan salam kami haturkan selalu kagem baginda Muhammad SAW. Memang benar, antara kanjeng Nabi dan kami terpaut berabad jarak, namun sungguh aura, figur dan cinta kasihmu nyata kami rasakan hingga saat ini.

Muhammad adalah kekasih Allah. Barang siapa mencintai kekasih Allah maka Allah akan balas mencintainya. Nur cahaya Muhammad telah menerangi kegelapan dunia, telah merahmati alam semesta. Sejatinya umat manusia sekarang tinggal enaknya saja. Tinggal mengikuti apa-apa yang telah di ajarkan kanjeng Nabi maka selamat kita. Namun sayang sekali, banyak manusia enggan memilih jalannya Nabi dan mungkin termasuk saya ini. Maafkan kami Ya Rasul, kami sangat mencintaimu namun masih semu, kami juga teramat rindu padamu meski terasa palsu.
                         ****
Alhamdulillah, sudah hampir 10 tahun saya menjadi bagian kecil dari Majelis Masyarakat Maiyah. 5 tahun menjadi jamaah Kenduri Cinta Jakarta dan sekarang rutin ngangsu kawruh lan ilmu di Majelis Mocopat Syafaat Yogya setiap tanggal 17 malam. Saya merasa beruntung luar biasa di giring Allah untuk 'keblasok' di Majelis Maiyah. Memang, pada awal melingkar dan sinau bareng di Forum Maiyah muncul perseteruan sengit dalam benak saya. Di saat hasrat diri mendambakan menjadi orang terkenal, tapi di Maiyah saya di rem untuk menahan diri. Saya nusang jempalik untuk meraih predikat dan gelar agar di segani orang, tapi di Maiyah di ajarkan bahwa semua manusia sama dan sejajar. Ketika saya mati-matian untuk menunjukkan buah karya saya selama ini, dan lagi-lagi di Maiyah saya di wejangi agar memilih jalan sunyi.

Apa-apaan ini, kenapa Maiyah serasa mencekal mimpi dan misiku. Jelas ini bertolak belakang 180° dengan obsesi hidupku selama ini. Cobaan apa lagi ini Tuhan. Kata saya pada awal nyemplung di Forum Maiyah. Dan Allah benar menunjukkan kebesarannya. Pelan-pelan saya di tunjukkan hidayah, sedikit tapi continue saya mampu untuk menyerap-mencerna-memahami apa itu ilmu "menahan diri" dan memilih "jalan sunyi". Saya di ajari langsung, di tatar, di poles, di gembleng habis-habisan oleh pelaku utama jalan sunyi. Tidak lain dialah guru Jamaah Maiyah Nusantara asal Jombang; Emha Ainun Nadjib atau akrab di sapa Cak Nun. Dan saya pribadi lebih suka dan nyaman memanggil beliau Mbah Nun.

Simbah memilih jalan sunyi, menjauh dari mainstream dan panggung hingar-bingar. Simbah menghabiskan waktunya untuk melayani masyarakat se-antero bumi Indonesia. Tanpa lelah, tanpa transaksi dan tanpa ekspos sorot media. Simbah setia pada jalan sunyi untuk ndandani hati-moral dan pemikiran manusia-manusia Indonesia.

Di mata saya, simbah adalah multi-talent. Beliau seorang guru, pemimpin, penasihat sekaligus ayah, simbah dan sahabat bagi semua. Mengajarkan nilai-nilai agama, sosial-budaya, politik dan hampir seluruh lini kehidupan di sampaikan beliau dengan cerdas dan mencerdaskan. Baik melalui tulisan (puisi-esai-kolom-buku), forum diskusi, pementasan dan juga seabrek karya lagu bersama grup Kiai Kanjeng yang di asuhnya. CNKK menjelma menjadi "klinik" berjalan yang senantiasa ngobati larane ati menungso, mengguyub-rukunkan perselisihan, mencairkan ketegangan serta sebagai "bak sampah" atas segala keluhan berbagai permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.

Namun hebatnya Simbah tak pernah mengeluh, ndak gresulo sedikitpun. Beliau tetap melayani dengan cinta asih. Membalas kebencian dengan cinta, menjawab fitnah dengan cinta, bersedekah cinta pada Indonesia padahal bangsa ini masih punya 'hutang' pada Simbah. Bahkan orang-orang yang sempat menyantetnya dan ingin membunuhnya tetap di cintainya. Itulah Emha, sosok tanpa gelar, bukan pejabat, bukan selebriti, Kiai pun bukan, hanya seorang Cak dari Jawa Timur yang penuh cinta dan dedikasi tinggi pada negeri ini.

Tak di pungkiri, jika yang di lakukan Simbah selama ini mirip dengan apa yang di lakukan kanjeng Nabi pada masa dulu. Berdakwah, mengajak umat untuk sama-sama sinau menuju kebaikan (shirattal mustaqim). Mencintai Allah dan Rasul-Nya. Mengajak dengan cinta bukan paksa. Merangkul dengan cinta tanpa dakwa. Sudah amat langka sosok Emha di Republik ini. Seorang yang rela jiwa-raga memberikan apa saja untuk kearifan kampungnya, kemuliaan bangsanya dan keselamatan seluruh rakyat Indonesia.

Saya dan mungkin kita semua rindu pada figur guru dan pemimpin laksana Baginda Nabi. Pemimpin yang baik hati lagi santun. Guru yang mengasuh dengan cinta dan ketulusan. Kalau bisa aku pengin terus nggondheli klambine Nabi. Tapi apa mungkin bisa, Engkau telah di peluk mesra sang Illahi sedangkan kami masih kacau, kotor, berlumur dosa di muka bumi.

Syukur Alhamdulillah. Kini ada satu cara untuk sedikit mengobati haus rinduku pada sang Nabi. Semoga ini tidak berlebihan, lebay, pamer apalagi mengkultuskan. Tidak! Semoga Allah mengampuni kelancanganku. Dapat aku temukan sosok satu level di bawah Nabi/ mungkin wali pada diri Simbah (EAN) yang ku pahami selama ini. Bagaimana tidak, sepanjang hidup terus menebar cinta meski di benci, di hina, di fitnah dan mau di apakan saja beliau terima. Sebab apapun yang beliau kerjakan hanya untuk mengharap cinta-Nya Allah dan Rasul-Nya. Bukan puja-puji manusia, bukan untuk obsesi pribadinya, juga bukan bab urusan dunia semata.

Ya Allah, Engkau tetap Tuhanku.
Ya Muhammad, Engkau tetap Rasulku.
Jika sekarang aku tak bisa mencium mesra Nabi, maka aku bisa menciumi pipi simbah kanan-kiri sebagai pelampias rinduku.
Jika aku belum mampu memeluk harum tubuh Nabi, aku bisa merangkul erat-erat tubuhnya Simbah sebagai wujud roso tresnoku.
Jika aku ingin mengikuti jalan cahaya Nabi, maka aku memilih jalan sunyi yang di tempuh Simbah sekian lama ini. Jalan sunyi sungguh nikmat sekali.

Aku cinta padaMu Ya Allah, cinta padamu Ya Nabi dan juga cinta padamu Simbah.
Semoga Allah, Rasulullah dan Simbah tidak marah kepadaku.



Oleh
@MuhammadonaSetiawan

Selasa, 29 Desember 2015

Esai - " Catatan Penghujung Tahun "


#Catatan Penghujung Tahun



Orang Indonesia itu gumunan, latah, dan gampang di bikin mabuk: jadi cukup di serbu dengan iming-iming di segala bidang maka mabuklah semuanya. Segala macem partikel yang menggiurkan, gosip yang menarik, link informasi yang bersliweran di media sosial di untal mentah-mentah oleh orang Indonesia, tanpa reserve. Padahal apa saja yang hendak kita untal/ makan baiknya kita olah dulu-di pamah sampai lembut baru kita telan masuk perut. Sebab kalau kita nguntal yang masih gelondongan, akibatnya kita akan kloloten/ kesedak lalu muntah berserakan.

Ibarat kata kalau kita mau makan nasi, maka kita harus mengidentifikasi proses terjadinya nasi. Mempelajari secara urut dan continue, mulai dari tahap nandur padi di sawah, setelah padi menua lantas di panen, di erek yang kemudian menjadi gabah. Lanjut gabah di jemur di bawah sengatan matahari, untuk kemudian di selepke dan jadilah beras. Beras belumlah enak untuk di makan, maka beras mesti di ayak, di bersihkan dari kerikil dan kotoran yang lain atau di tapeni kata orang Jawa. Sesudah itu beras di bersihkan dengan air barulah di liwet atau di nanak dan jadilah nasi yang setiap hari kita konsumsi. Jangan protes kalau kita belum tahu proses apalagi progres.

Dan untuk mengolah makanan, ilmu, opini, informasi dan apapun itu manusia di bekali Tuhan akal sehat. Dan namanya akal sudah pasti sehat, sebab tidak ada akal sakit. Hanya gigi dan hati yang mungkin berpotensi untuk sakit, yang mana kita sering menyebut sakit gigi juga sakit hati. Jadi akal manusia sudah pasti sehat jangan lagi di tawar. Ketika akal masih gamang dalam mencermati suatu hal, Tuhan lantas memberi manusia hati-rasa-etika untuk membantu mempertimbangkan segala sesuatu yang hendak masuk pada diri. Akal dan hati harus saling bahu-membahu setiap menangkap berbagai jenis informasi dan mesti 'sesuai' dosis, konteks, batas, takaran, koridor wilayah, ruang dan waktu. Apabila kurang itu tidak baik, overdosis pun membahayakan. Pilihlah yang dinamis. Tapi begitulah, manusia Indonesia memang malas berfikir, pokoknya ambil dan telan.

2015 akan segera kita tinggalkan, semoga saya-anda- pak RT- Bayan- Lurah- Camat- Bupati- Menteri- Jokowi dan seluruh manusia Indonesia turut meninggalkan sikap gumunan, latah dan hobi nguntal mentah-mentah.




@MuhammadonaSetiawan

Selasa, 22 Desember 2015

Esai - "Prihatin"


" Prihatin "


Kenapa orang mencari uang sebanyak-banyaknya,
menumpuk harta benda ndak habis-habis, dan tak henti-hentinya mengejar kekuasaan. Karena mereka pikir hanya itu yang bisa membuat mereka hidup bahagia.
Padahal sederhana saja. Semakin kita lapar maka semakin nikmat kita makan, sebab lauk yang paling nikmat itu bernama "lapar". Nikmat dan lezat itu ketika sudah lama tidak terjadi, suatu hari terjadi dan itu membuat kita seneng ndak karu-karuan.
Sama halnya saat kita berpuasa. Berjam-jam kerongkongan kita kering, perut kosong, badan lemes. Dan momentum nikmat itu berlangsung ketika seteguk teh hangat manis membasahi kerongkongan saat berbuka. Cukup seteguk saja, nikmatnya luar biasa. Tanpa harus di jejali sepotong pizza, anggur, semangka atau sekotak kue nastar macam rasa.
Tetaplah prihatin dalam keberadaan.
Dan tetaplah 'berpuasa' dalam keberlimpahan.



@MuhammadonaSetiawan

Selasa, 01 Desember 2015

Sajak - "Sajak Rahasia"


" Sajak Rahasia "


Dia perkasa namun lembut
Ia pinjamkan keperkasaan pada Adam
Ia titipkan kelembutan ke sang hawa

Cahaya tak tampak
Namun yang tertimpanya kentara.
Suara tak terdengar
Hanya dalam sepi-sunyi suara di temukan

Duhai kelembutan,
Kelembutan senantiasa tersembunyi.
Cahaya tak tampak
Suara tak terdengar
Begitu pula keindahan.

Sebuah prasasti sebagai pengantar keindahan.
Sebait puisi adalah tempat rahasia keindahan.
Sealun lagu menjadi satu cara mengungkap keindahan.

Demikian sejatinya Ia,
Kelembutan, keindahan dan perempuan.
Senantiasa menyembunyikan diri dalam rahasia
Sebab demikian itu syarat mutlak keagungannya


@MuhammadonaSetiawan

Minggu, 22 November 2015

Puisi - "Tuhan pun Berpuisi"


"Tuhan pun Berpuisi"



"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"

Kenapa Tuhan tidak bilang;
Ini semua nikmatKu, gila kalian jika mendustakan!
Tuhan tidak berkata demikian."

"Jangan dekati zina.."

Kenapa Tuhan tak bilang saja;
Manusia di larang berzina, titik!
Tuhan tidak bersikap demikian."

Sebab Tuhan berpuisi
Dia 'bicara' dengan kiasan
Sarat makna yang tersimpan

Sedang Tuhan pun berpuisi
Lalu kenapa kalian keras hati
Jadilah manusia 'puisi'
Sebarkan kasih-sayang dan keindahan.



@MuhammadonaSetiawan