Rabu, 22 Juli 2015
Cerpen - "Selamat Boy"
" Selamat boy "
Kemarin, salah satu teman baikku telah resmi menanggalkan status lajangnya. Tepat pukul 9 malam waktu Indonesia barat ia sukses mengucap kalimat ijab kabul di depan sang penghulu. Kini ia telah sah menyandang gelar suami. Senang bercampur "sedih" menyergap perasaanku kala menyaksikan peristiwa sakral nan mengharukan malam itu.
Senang, tentu aku merasa senang melihat sahabatku melangkah ke pelaminan, namun tak di pungkiri terselip rasa sedih dalam benakku. Ya, aku sedih karena pasti kita tidak akan bisa sebebas dulu, mungkin kita akan jarang bertemu, jarang makan bareng, dolan/nongkrong bareng lagi karena ia sekarang telah berkeluarga, ia punya tanggung jawab lebih di dalamnya. Jauh di lubuk hati, aku juga merasa "iri", hati ini terus saja bertanya-tanya kapan aku menemukan cinta yang bisa menemani hari-hari hidupku. Aku sangat "iri" ingin secepatnya mengikuti jejaknya. Namun aku pun sadar, bahwa semua ini adalah bagian dari takdirNya. Pepatah lama juga selalu bilang; jodoh, rezeki, maut semua ada di tanganNya. Dan yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah berusaha mengetuk pintuNya, agar tanganNya berkenan menunjukkan arah kepadaku, di mana "cinta" itu bisa ku temukan.
Duhh, kok malah curcol ya, maaf-maaf. Kita kembali ke topik awal. Joko adalah nama sobatku yang kemarin menikah. Nama lengkapnya Joko Hengky Prasetyo, nama yang cukup canggih secara dia lahir di tahun 1987 lalu. Dan aku lebih nyaman memanggilnya Joko, meskipun yang bersangkutan kurang berkenan dengan sebutan itu. Namun aku tak peduli, menurutku panggilan Joko lebih pas dengan muka dan perawakannya. Hahaa......
Sebenarnya, aku dan Joko baru akrab dan dekat sekitar 4 tahun terakhir ini. Hal itu berawal ketika aku hijrah ke ibukota. Sejak lulus SMA, Joko telah "minggat" lebih dulu ke Bekasi, sebab saudaranya banyak yang bertempat tinggal di sana (baca; Bekasi). Sedangkan aku baru tahun 2010 lalu memutuskan untuk mengadu nasib di Jakarta.
Ada yang aneh perihal hubungan pertemananku dengan si Joko. Aku dan dia dulu satu SMP dan SMA, tapi anehnya kita tidak pernah sekalipun tergabung dalam 1 kelas yang sama walhasil kita tidaklah berteman akrab atau bisa di bilang biasa-biasa saja. Terlebih lagi aku dan dia juga beda "aliran", dia ke barat aku ke timur, dia ngalor aku malah ngidul. Jadi selama masa sekolah, baik di SMP sampai SMA kita jarang sekali ngobrol bareng bahkan tidak pernah sama sekali. Lebih parahnya lagi, dulu aku pun sempat mengecap "miring" padanya. Hal tersebut di karenakan Joko adalah murid yang berlabel "preman" sekolah. Segala "kejahatan" di sekolah khatam ia lakukan, mulai dari mbolos, pakai sepatu selain hitam, berkelahi, merokok, nggak pakai helm dan lain sebagainya. Tak heran jika ia akrab sekali keluar masuk ruang BP. Belum lagi kalau di luar jam sekolah, hobinya adalah taruhan, nongkrong nggak jelas dan mabok berjamaah dengan gank sealirannya. Hal itu pulalah yang semakin membuatku merasa tidak sreg bergaul dengan dirinya.
Namun keadaan menjadi berubah 180 derajat, ketika kita berjumpa di Bekasi. Saat itu aku mendapat pekerjaan di daerah kota Bekasi. Dan menurut kabar yang ku dengar, Joko juga tinggal di Bekasi. Pada suatu hari kita janjian untuk ketemuan. Jujur, saat awal ada niatan untuk ketemu dengan dia, ada perasaan canggung dalam hatiku. Aku masih terbawa suasana zaman sekolah dulu, dalam otakku menerawang apakah Joko masih seperti dulu, masih sok preman dan beda aliran denganku. Ahh, ku tepis semua pikiran negatifku itu, sampai akhirnya kita berdua bertemu dan bertatap muka. Yang ada dalam pikiranku ketika bertemu lagi dengan Joko adalah, dia sangat jauh berbeda. Itu terlihat dari cara dia ngomong serta penampilan dia yang tampak lebih rapi dan dewasa. Jauh sekali dengan gaya slengekan dia jaman mbeling dahulu.
Singkat kata, kita pun mendadak akrab, akrab sekali. Mungkin kita ngerasa sama-sama hidup di perantauan, jauh dari rumah dan keluarga. Ternyata setelah kita saling kenal satu sama lain, kita menjelma menjadi sahabat setia dalam suka atau pun duka. Kita sering menghabiskan waktu bersama, kalau dia tidak ke kostku maka aku yang main ke tempatnya. Joko yang dulu urakan dan aku cap "miring" kini menjadi teman senasib dan seperjuanganku. Kita tiap hari guyon bareng, baik langsung maupun via sosial media. Nggedebus ngalor-ngidul dari hal yang serius sampai yang nggak penting sama sekali.
Ia pun kerap membantuku, bahkan aku sampai tak bisa menghitung kebaikan dia kepadaku selama di Bekasi hingga hari ini. Dia ada untuk menolongku setiap aku kekurangan atau kesulitan. Dia tulus membantuku tanpa pamrih dan nggak pakai itung-itungan, itulah yang selama ini aku rasakan dan semoga perasaanku itu benar sehingga seluruh kebaikan dia akan menjadi amalan. Tak jarang, kadang kita juga berselisih paham dalam menyikapi sesuatu namun semua itu tujuannya cuma satu yaitu untuk kebaikan kita bersama.
Kini aku merasa menyesal, nyesel karena dulu aku menaruh citra negatif kepada dia(Joko). Aku hanya fokus melihat casingnya saja tanpa terlebih dulu menyelami karakter di dalamnya. Dan kini aku bersyukur sekali punya sohib seperti dia. Memang, di dunia ini tidak ada yang kebetulan, hanya istilah kita saja menyebutnya sebuah "kebetulan". Dan Allah telah mempertemukan kita dalam moment yang tepat dan menjadikan kita teman, kawan, dan sahabat. Jangan pernah menjudge orang lain sebelum kita benar-benar tahu luar dalamnya. Aku yang dulu "benci" dengan tingkah polahnya Joko, kini aku merasa beruntung punya sahabat sepertinya.
Akhir kata ku ucapkan selamat sobat, mohon maaf atas segala khilaf dan terimakasih atas semua kasih. Selamat menempuh kisah hidupmu yang baru boy, aku hanya bisa mentransfer doa semoga pernikahanmu langgeng bahagia dan menjadi keluarga yang SaqinahMawwadahRahmah.
Amin, aamiin Ya Rabbal'alamin.
Nb; Tulisan ini berdasarkan kisah nyata, tanpa ada rekayasa apalagi guna-guna.
Wassalam
Miri, 22 Juli 2015
@MuhammadonaSetiawan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar