Minggu, 08 November 2015
Cerpen - " Sweet Seventy Walang Kekek "
" Sweet Seventy Walang Kekek "
Haru, ya perasaan itu yang mendadak menyeruak dalam bathin saya. Sekujur tubuh ini merinding, ketika saya menyalami dan menciumi punggung telapak tangannya berulang kali. Sesaat kemudian saya di persilakan duduk di sofa, bola mata saya berkaca sembari menepuk-nepuk pipi kanan-kiri, seolah masih tak percaya jika hari ini saya bisa bertemu, bertatap muka langsung dengan seorang legenda.
Tepatnya kemarin petang sekitar pukul 15.00 WIB, saya sowan silaturahim ke dalemipun Eyang Waldjinah di daerah Mangkuyudan, Solo. Tujuan saya kesana adalah untuk memberi ucapan selamat ulang tahun kagem Eyang, dimana pada hari sabtu tanggal 07 November 2015 kemarin, sang 'ratu' keroncong itu genap berusia 70 tahun. Tak lupa, saya bawakan sekotak 'oleh-oleh' sebagai kado rasa terimakasih dan cinta saya kepada beliau.
Sore itu, Eyang mengenakan daster motif bunga sederhana, seraya menyambut saya dengan senyum ramah. Di temani salah satu putranya; Mas Ari, kami bertiga langsung berbincang akrab dan hangat.
" Eyang apa kabar?"
" Alhamdulillah sehat, baik, adik dari mana?"
"Saya saking Sragen Eyang, ngapunten sudah ganggu istirahat Eyang."
" Ora opo-opo, makasih dah mau kesini."
" Ngapunten, Eyang ketingale agak kurusan njeh?"
" Iya, wolong sasi ndak doyan mangan, sampek di infus barang (sambil menyodorkan lengan kirinya ke arah saya)
Kemudian mas Ari menjelaskan, jika selama kurun 8 bulan, kesehatan Eyang turun drastis. Beliau ndak doyan makan, harus rajin minum obat dan kontrol rutin ke Dokter. Dan itulah yang menyebabkan Eyang tampak kuru sekarang.
"Tapi Alhamdulillah wis sehat kok, sitik-sitik gelem mangan (celetuk Eyang dengan nada sumringah)
...kami spontan tertawa....
Saya memang cukup kaget melihat kondisi Eyang yang sekarang. Tak di pungkiri usianya kini memang sudah 'senja', kulit wajahnya tampak keriput dan empuk, rambutnya hampir memutih semua, bicaranya pun pelan dan terbata. Namun ada satu yang tetap tidak berubah dari diri Eyang, yaitu keramahan dan guyon nya. Saat beliau bertutur, selalu saja ada hal yang menggelitik dan mengundang tawa bagi orang yang mendengarnya. Sungguh sang 'ratu' yang humble dan patut untuk kita teladani bersama.
Terus saya ngguyoni;
"Eyang masih saget nembang?"
"Yo iso tapi alon-alon, ora iso mbengok."
" Hehee.., kita duet sedikit lagu Walang kekek bisa Eyang?"
Dan kita berdua pun bersautan menyanyikan beberapa bait lirik tembang "Walang kekek"
* Walang kekek menclok ning tenggok
Mabur maneh menclok ning pari
Ojo ngenyek yo mas karo wong wedok
Yen di tinggal lungo setengah mati
E ya iyo ya iya e ya iyo yae yae o e yae o
Omah gendéng yo mas tak saponane
Abot enteng tak lakonane...
Usai bernyanyi, tak terasa pelupuk mata saya sudah basah dengan sendirinya. Suara Eyang itu memang 'emas', sudah indah dari 'sononya'. Terimakasih Eyang sudah mau nyanyi bareng njeh, puji saya.
Oh ya, sejenak saya keluar mengambil sesuatu di motor. Saya sengaja membawakan seporsi serabi Notosuman, spesial buat Eyang. Dan Alamdulillah kata mas Ari, Eyang masih di perbolehkan untuk makan yang manis-manis, pantangannya cuma satu; ndak boleh makan pedes.
Mas Ari juga menyampaikan kepada saya, bahwa saat ini Ia sedang menjalin komunikasi dengan pihak Dinas Pendidikan terkait serta anggota DPRD kota Surakarta untuk berupaya bersama-sama melestarikan seni budaya lokal khususnya seni musik keroncong dan langgam jawa. Mas Ari juga berharap agar pemerintah setempat membuat sebuah fasilitas publik yang bersifat fisik dan non fisik yang mana kontennya berisikan informasi, pustaka/ koleksi dan juga edukasi. Sehingga masyarakat luas bisa mengenal, tahu dan 'sinau' tentang apa itu seni keroncong, langgam, gamelan dan seni budaya lokal lainnya beserta para pelaku seninya. Mas Ari juga bercita-cita dan terus memperjuangkan agar seni keroncong bisa 'masuk' ke dalam sekolah-sekolah untuk menjadi ekstra kurikuler/ muatan lokal.
Saya sangat antusias mendengar cerita dari mas Ari dan turut mengaminkannya. Para generasi bangsa memang harus di kenalkan pada budaya lokal yang aseli Indonesia. Jangan hanya di cekoki dengan seni modern atau 'barang' impor saja. Jangan bangga jika fasih menyanyikan lagu bahasa Inggris akan tetapi di suruh nyanyi tembang jawa malah meringis. Bukan berarti kita tidak 'open' pada musik luar, silakan saja untuk mendengar genre musik apapun, silakan juga kalau mau mengidolakan Metallica, Madonna, Katty Perry, Super Junior, Noah, Raisa dan artis-artis papan atas lainnya. Namun satu yang penting dan jangan di lupakan adalah kita mestinya juga harus mau belajar dan peduli untuk 'nguri-uri' seni budaya lokal aseli, karena kalau bukan kita siapa lagi. Seyogianya kita lebih bangga dan mengidolakan seorang seniman lokal seperti; Gesang, Manthous, Waldjinah dan nama besar lainnya. Jangan sampai 'kasus' Reog Ponorogo terulang lagi. Kita baru ribut dan mencak-mencak ketika ada negara lain yang mengklaim seni musik keroncong adalah warisan budaya mereka, namun di sisi lain kita yang memilikinya justru bersikap apatis dan masa bodoh. Jangan sampai itu terjadi!
Dan di akhir pertemuan singkat nan mengesankan itu, saya meminta 'hadiah' kepada Eyang untuk berfoto bersama sebagai kenang-kenangan yang tak kan terlupakan selamanya. Sepindah maleh kulo ucapaken; sugeng enggal warso Eyang Waldjinah yang ke-70, mugi-mugi tansah di paringi kesarasan lan kebahagiaan fidunya-akherat. Matursuwun sanget atas segala karya cinta, keindahan dan kesyahduan yang telah Eyang persembahkan untuk negeri ini selama setengah abad lebih. Semoga Allah senantiasa membalas dengan kebaikan cinta-Nya pula, Amiin.
We love u Eyang
Cucumu
@MuhammadonaSetiawan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar