Kamis, 03 September 2015

Cermin - "SantaNusantara"

" SantaNusantara "


MAGIS! Ya, cuma kata itu yang pantas di sematkan kepada gamelan KiaiKanjeng saat mentas di acara Kenduri Cinta edisi Jumat, tanggal 08 Mei 2015 lalu, bertempat di plaza TIM (Taman Ismail Marzuki) Cikini, Jakarta pusat. Dengan mengusung tema " KiaiKanjeng Of the unhidden hand" para penggiat KC seolah ingin memberikan tempat dan waktu khusus kepada KiaiKanjeng untuk menjadi "bintang utama" pada acara malam itu. Saya salah satu dari jamaah maiyah, merasa beruntung sekali bisa hadir dan menyaksikan sebuah pagelaran dahsyat dari KK, sekaligus menjadi saksi sejarah bahwa pementasan KK pada malam itu merupakan pagelaran KiaiKanjeng yang ke-3645, luar biasa!

Acara maiyah Kenduri Cinta di mulai sekitar pukul 20.00 waktu setempat. Dan saya tiba di lokasi (baca; plaza TIM) pada pukul 21 lewat 20 menit. Para jamaah tampak sudah memadati, duduk melingkar di area maiyahan. Karena perut keroncongan, saya sempatkan dulu untuk mengisi perut, makan 2 bungkus nasi kucing, 1 tusuk usus dan 2 gorengan. Alhamdulillah kenyang sudah perutku.

Menginjak pukul 22.00 WIB, akhirnya yang di tunggu-tunggu datang juga. Terlihat para awak KiaiKanjeng telah tiba di lokasi maiyah dan satu persatu para personilnya naik ke atas panggung. Nampak pak Nevi Budianto sang pentholan KK, di susul mas Imam, pak Islamiyanto, mas Joko kamto, mas Jijit, mas Doni dll. Mereka kompak mengenakan kemeja batik yang terkesan sederhana. Tapi di situlah kemagisan itu berada, di balik kesederhanaan penampilan dan "jawane" mereka itu terdapat sebuah nilai seni tinggi yang mengagumkan dalam diri mereka. KiaiKanjeng memulai pementasan malam itu dengan membawakan nomor Gundul-gundul pacul, tembang yang kebanyakan dari kita menganggap sebagai lagunya anak-anak itu di bawakan secara apik serta di balut dengan aransemen yang ciamik. Banyak genre musik yang di masukkan di lagu tersebut, ada unsur gamelan jawa, kemudian di padu dengan pop, jazz, blues, namun semua itu tetap terdengar nikmat dan mengundang decak kagum, tak ketinggalan pula suara merdu mas Imam Fatawi yang semakin menambah warna performance KK. Perlu kita tahu bahwa sejatinya lirik dalam lagu Gundul-gundul pacul itu sarat akan makna dan mengandung filosofi hidup, di mana Cak Nun sering sekali membahas hal ini dalam  banyak kesempatan di acara Maiyah. Yang mana intisari dari lagu tersebut kurang lebihnya adalah apabila kita sedang menyunggi/mengemban sebuah amanah maka kita jangan gembelengan, jangan sembarangan karena jika asal-asalan kita bisa celaka. Pesan moral yang bisa kita terapkan dalam kehidupan nyata kita sehari-hari.

Tepuk tangan jamaah membahana ketika KK berturut-turut menyajikan nomor sholawat, di lanjutkan lagu bernuansa arab hingga lagu-lagu ala barat. Dan selalu ada surprise di setiap penampilan energik mereka. Di sela pertunjukan, mas Erik selaku moderator acara mengajak para personil KK untuk bercerita dan tanya jawab perihal perjalanan panjang KK. Pak Toto Rahardjo yang akrab di sapa pakde Tohar mengawali dengan menceritakan tentang awal mula berdirinya gamelan KiaiKanjeng. Beliau bilang; Dulu Cak Nun itu sangat vokal melawan rezimnya Soeharto, bermula saat akan di bangun bendungan Kedung Ombo di kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Cak Nun dan kolega bersikeras menentang pembangunan proyek bendungan tersebut. Dengan kedok "pembangunan", pak Harto ingin merealisasikan proyek tersebut, padahal waktu itu Cak Nun dkk menilai itu semua berbau kapitalisme yang akan merugikan rakyat setempat. Di mulailah gerakan-gerakan untuk mengkritisi pemerintahan orde baru kala itu. Lewat karya puisi, drama, dan buku-buku, Cak Nun mulai menyuarakan perlawanannya. Pementasan puisi dan monolog sering di lakukan dan tak jarang pula mendapat pencekalan. Dan suatu kali CN membuat naskah yang berjudul Pak Kanjeng di mana tokoh tersebut terinspirasi dari seorang pribumi di daerah Kedung Ombo. Naskah itu awalnya ingin di monologkan oleh Butet Kartaredjasa namun beliau tidak berani mementaskannya sendiri. Walhasil muncullah 3 aktor dalam pementasan Pak Kanjeng tersebut, mereka adalah CN sebagai penggagas acara, Nevi Budianto sebagai pengiring musik dan tentu Butet bertindak sebagai penampil monolog Pak Kanjeng. Itulah embrio atau cikal bakal terbentuknya gamelan KiaiKanjeng.
Dan ada satu hal yang baru aku ketahui saat pak Nevi sang kreator musik KK berkisah, bahwa KiaiKanjeng itu bukan nama group musik, tetapi KiaiKanjeng adalah sebutan gamelan yang mereka mainkan itu. Dan hampir semua nada dan aransemen musik KK di create oleh seorang Nevi Budianto. Saya angkat topi kepada beliau, bagaimana tidak, pasalnya musik KK itu benar-benar magis, all genre, mereka tidak terpaku pada satu jenis musik saja, mereka tidak pelog, tidak pula slendro. Mereka bukan pure gamelan, karena di sana terdapat gitar, bass, drum, biola meski saron dan bonang menjadi komponen utamanya. Mereka mungkin seperti big band atau orkhestra, mereka mampu meramu pelbagai macam jenis musik, di padu padankan sehingga menjadi sebuah sajian musik yang berkelas, magis dan berkualitas. Mas Islamiyanto pun menganalogikan bahwa musik KK itu ibarat santan kelapa. Jika kita ingin mendapatkan santan, maka kita akan mencari kelapa, memanjat pohon kelapa lalu memetik kelapanya, kemudian kelapa itu di kupas kulitnya sampai ketemu batok/tempurung kelapa, lalu di pecahkan tempurung itu, di congkel daging kelapanya, setelah itu di parut dan di peras barulah kita akan mendapatkan santannya. Proses yang cukup panjang untuk mendapatkan santan kelapa. Sekarang, semisal kita ingin membuat sebuah menu hidangan berbahan pisang, kolang-kaling, ubi dan lainnya, kemudian mencampurinya dengan santan maka kita semua akan sepakat menyebut menu tersebut bernama kolak pisang, bukan santan pisang, bukan santan ubi atau kolak santan juga bukan. Nah itulah KiaiKanjeng, laksana santan di mana ia tidak di sebut meski di perlukan, ia kurang di perhatikan padahal sangat vital, KK menjelma sebagai "santan" yang memiliki satu peranan penting, di mana ia sangat di perlukan keberadaannya, ia sangat di butuhkan fungsinya, yaitu untuk memberikan "rasa" gurih, enak dan lezat bagi khasanah musik, etnik, seni dan budaya Indonesia bahkan dunia.


Wassalam

Oleh
@MuhammadonaSetiawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar