Selasa, 15 September 2015

Cerpen - " Tumbuh-teduh "

" Tumbuh-teduh "


Hari minggu kemarin, 13 September 2015, aku pergi ke rumah kawan lamaku di daerah Gemolong. Kawanku itu punya nama panjang sekali; Nathanael Adhi Berhana Purwanto, dan ia biasa di panggil Adhi. Dulu jaman SMA, aku dan Adhi teman satu kelas saat duduk di bangku kelas 2. Kita berdua akrab sekali, dan salah satu penyebabnya adalah karena kita sama-sama suka musik.

Pertama kali aku main ke rumah Adhi, ya saat kelas 2 SMA dulu. Dan Adhi ini adalah satu-satunya teman sekelasku yang beragama kristen. Di rumahnya terdapat gereja yang di peruntukkan sebagai tempat ibadah bagi para jemaat. Awal mula bermain ke rumah Adhi, jujur aku merasa sedikit canggung sebab itulah kali pertama aku masuk ke dalam gereja. Seumur hidupku belum pernah yang namanya datang atau masuk ke sebuah gereja. Namun setelah berkali-kali main ke sana, semua menjadi wajar dan biasa-biasa saja.
Pernah dulu ketika pulang sekolah aku main ke rumah Adhi. Waktu itu ada semacam pertanyaan yang ingin ku ajukan padanya (Adhi), tentang bagaimana ceritanya seorang Yesus bisa di sebut sebagai "Tuhan". Mendengar pertanyaanku yang sedikit aneh itu, Adhi cuma tersenyum dan bilang; begini aja Don, aku punya CD film yang isinya menceritakan tentang proses tuhan Yesus bisa menjadi Allah bagi umat kristiani, kita tonton saja. Akhirnya kita berdua menonton film yang durasinya sekitar 45 menit tersebut.

Setelah melihat film tersebut, tentu aku mendapatkan "sesuatu" yang bisa ku ambil dan aku punya perspektif sendiri tentang bagaimana seorang Yesus di tuhankan oleh umat Kristiani. Begitu juga dengan Adhi, pasti dia pun punya pandangan dan kepercayaan sendiri yang sungguh ia yakini. Dan aku sangat menghargai apa yang ia percayai dan yakini. Sebaliknya Adhi, ia juga menghormatiku sebagai temannya yang beragama muslim. Semisal tiba waktu sholat, aku izin ke dia, dan aku di persilakan untuk mengerjakan sholat di rumahnya, di gereja miliknya. Bagiku tidak ada masalah, apabila aku mengerjakan sholat di gereja, selama yang punya gereja mengizinkannya. Gereja kan hanya namanya, dan ketika aku bersujud, di situlah "masjid", walaupun tempat itu bernama gereja. Selama ini kita hanya fokus dan menjurus pada bab nama, brand atau sebutan, padahal yang lebih penting itu bukan nama, gelar atau predikat yang melekat. Yang jauh lebih penting itu adalah fungsi dan manfaatnya. Terserah tempat/bangunan itu bernama apa, namun ketika kita mendirikan sholat dan bersujud di situlah berfungsi sebagai masjid bagi kita.

Dan kemarin  setelah 11 tahun lamanya, akhirnya aku bisa datang kembali ke rumah Adhi. Gerejanya masih berdiri megah, anjing piaraannya juga masih menyalak keras, seolah ingin menyapa dan "mengucapkan" selamat datang kepadaku. Keluarga besarnya masih kompllit, mamanya Adhi juga masih ingat betul namaku, sedangkan papanya lupa-lupa ingat. Kakak dan adik-adiknya pun ramah menyambutku. Mereka semua sangat care dan welcome kepadaku, nggak ada yang berubah, masih sama seperti dulu. Dan seperti yang di sampaikan di awal bahwa aku dan Adhi berteman dekat dan akrab karena kita sama-sama hobi bermusik. Kita sama sekali tidak mempedulikan tentang agama dan latar belakang kita. Dan sore kemarin kita bernostalgia, kita berduet bernyanyi di gereja Pantekosta miliknya. Aku bertugas untuk menyanyi dan Adhi memainkan jari-jarinya di atas not piano. Indah sekali tatkala bait-bait lagu di iringi denting piano nan merdu. Seindah persahabatan kita yang tumbuh dan teduh di atas perbedaan.



Oleh
@MuhammadonaSetiawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar